Kalimantannews.id
Xiaomi 17 Ultra Pamer Gengsi Kamera Dewa, Akal Sehat ke Mana?

Xiaomi 17 Ultra Pamer Gengsi Kamera Dewa, Akal Sehat ke Mana?

Xiaomi 17 Ultra pamer kamera dewa dan Snapdragon 8 Gen 5, tapi apakah gempita teknologi itu masih punya logika di balik gengsi dan daya tahan?
Xiaomi 17 Ultra pamer kamera dewa dan Snapdragon 8 Gen 5, tapi apakah gempita teknologi itu masih punya logika di balik gengsi dan daya tahan?

Kalimantannews.id, Pulau Kalimantan - Xiaomi dan gairah tanpa nalar akal sehat manusia pada umunya.

Dalam panggung gemerlap teknologi, Xiaomi tampaknya kembali tampil seperti bintang sinetron tak mau redup.

Xiaomi 17 Ultra nama seakan dipilih untuk menegaskan “kemewahan digital” kembali menghiasi jagat berita dengan rumor peluncuran konon tak sampai sebulan lagi.

Namun di balik angka dan jargon “Ultra”, terselip satu pertanyaan lirih apakah semua ini masih soal inovasi, atau hanya lomba gengsi kehilangan arah?

Seorang pembocor andal, Digital Chat Station, menegaskan bahwa Desember nanti Xiaomi siap menyalakan kembang api peluncuran tiga perangkat.

Xiaomi 17 Ultra, satu ponsel berdaya baterai raksasa, dan satu lagi yang konon punya kamera ramping tapi tajam.

Semuanya ditenagai Snapdragon 8 Gen 5, otak canggih yang kini menjadi rebutan merek-merek besar di pasaran global.

Tapi, kecepatan prosesor tak selalu berbanding lurus dengan ketahanan nurani teknologi terutama bila inovasi hanya dikurung di balik kaca berkilau tanpa arah keberlanjutan.

Snapdragon Citra Dewa

Xiaomi tampaknya ingin mengulang dongeng lama. Dulu, Xiaomi 15 Ultra tampil bak penyelamat dunia kamera mobile.

Kini, 17 Ultra datang membawa mitos baru lensa-lensa megapiksel bisa memotret bintang, tetapi belum tentu memahami bumi.

Rumor menyebut peningkatan pada sistem kamera, konektivitas satelit, dan algoritma pencitraan berbasis AI lebih “manusiawi”.

Ironisnya, justru makin menjauh dari realitas manusia pengguna haus daya tahan baterai dan pembaruan jangka panjang.

Sementara itu, Snapdragon 8 Gen 5 hadir sebagai jantung baru dengan performa dewa dan suhu neraka sajalah itu.

Ia cepat, gesit, tapi tetap saja tak luput dari kutukan lama overheating dan manajemen daya belum tentu efisien.

Kita semua tahu, kecepatan tanpa keseimbangan hanyalah kebanggaan yang terbakar.

Dua ponsel lain yang ikut diorbitkan bersama Xiaomi 17 Ultra kabarnya berasal dari seri Civi dan Redmi Turbo, masing-masing penerus dari Civi 5 Pro dan Turbo 4 Pro.

Keduanya jika rumor itu benar—akan berbagi DNA dengan sang flagship, namun di harga lebih “membumi”.

Tapi mari jujur, “membumi” dalam definisi Xiaomi kadang lebih mirip “menyentuh awan dengan ujung jari”.

Harga mungkin lebih rendah, tapi jejak perawatan, update software, dan daya tahan sering jadi korban.

Inilah wajah industri teknologi hari ini sebuah perlombaan bernafas pendek, di mana setiap merek berebut jadi “yang pertama” meluncurkan, bukan “paling berguna” untuk manusia.

Xiaomi, seolah lupa, bahwa manusia tak hanya butuh kamera 200 MP mereka butuh daya tahan batin baterai lebih lama dari scroll TikTok tengah malam.

Desember Bulan Pamer

Dugaan peluncuran pada Desember memang terasa manis bulan hadiah, cahaya, dan pesta diskon.

Tapi di mata pengamat teknologi, ini lebih menyerupai “bulan pertaruhan”, ketika Xiaomi ingin mengukir headline di tengah deru rilis akhir tahun.

Sayangnya, seperti kebanyakan debut megah sebelumnya, perilisan global masih kabur mungkin menunggu MWC 2026.

Artinya, seperti biasa, dunia di luar Tiongkok hanya bisa menonton, sementara Xiaomi sibuk berlatih sorotan lampu.

Ini bukan sekadar strategi pasar. Ini soal bagaimana Xiaomi memainkan psikologi kelangkaan membangun mitos Ultra.

Ini juga membuat publik haus, lalu memberi setetes informasi demi menjaga ilusi eksklusivitas.

Kekurangan Xiaomi 17 Ultra

Meski spesifikasi belum resmi, pola lama Xiaomi terlalu mudah ditebak. Berikut beberapa minus klasik yang hampir pasti kembali menyapa:

Overheating di Snapdragon 8 Gen 5. Kinerja tinggi, tapi suhu tubuh bisa naik seperti HP diajak nonton konser online seharian.

Optimasi kamera yang tak selalu konsisten. Hebat di siang hari, tapi sering “malas” di malam gelap.

Daya tahan baterai belum tentu sepadan dengan performa, terutama jika AI dan mode fotografi ekstrem aktif terus.

Siklus update MIUI (HyperOS) yang cepat basi pengguna mungkin bosan menunggu patch keamanan datang seperti janji lama tak ditepati.

Harga flagship makin menjauh dari akar “Xiaomi si rakyat” merek ini dulu disayang karena value, kini makin elit seperti influencer yang lupa asalnya.

Layar, Kamera dan Ego

Kabarnya, layar Xiaomi 17 Ultra akan lebih cerah dari matahari Pontianak jam 12 siang, dengan refresh rate 120 Hz dan resolusi yang bikin retina berpesta.

Namun, untuk apa cahaya seterang itu jika tak diimbangi dengan pengalaman yang menenangkan mata dan logika?

Kamera periskop, ultra wide, dan sensor utama Sony LYT-900 mungkin hadir, tapi siapa benar-benar butuh potret bulan sampai pori-pori kawahnya terlihat, bila baterainya habis sebelum tengah malam?

Inovasi Kehilangan Jiwa

Ada ironi besar dalam setiap peluncuran flagship semakin canggih teknologinya, semakin kecil ruang kita untuk bernapas.

Xiaomi kini tak hanya menjual perangkat, tapi juga gaya hidup digital yang serba cepat, serba unggul, serba FOMO.

Dalam dunia menuntut jeda, Xiaomi 17 Ultra  justru menambah kecepatan dan kita, para pengguna, kembali menjadi penonton setia dalam panggung kapitalisme beraroma megapiksel.

Di balik sorotan kamera dan angka chipset, Xiaomi 17 Ultra hanyalah cermin zaman produk diciptakan bukan karena kebutuhan, tapi karena ketakutan untuk tertinggal.

Maka, di situ, masalah kasus ini menemukan maknanya. Bahwa dalam laju tak terbendung menuju masa depan digital.

Pengguna seharusnya bertanya bukan “seberapa cepat”, tapi “seberapa bijak” teknologi itu tumbuh menanjak.

Xiaomi 17 Ultra akan memukau, tapi sekaligus mengulang kesalahan lama terlalu sibuk jadi legenda, lupa jadi alat manusia.

Mungkin, itulah tragedi paling futuristik dari dunia yang katanya pintar, tapi, belum nyampe ke tingkat atas.
Aksesori Mahal Tanpa Akal Sehat! iPhone Pocket, Tas Rp3 Jutaan Bikin Saku Logika Kamu Ikut Hilang

Aksesori Mahal Tanpa Akal Sehat! iPhone Pocket, Tas Rp3 Jutaan Bikin Saku Logika Kamu Ikut Hilang

Apple merilis iPhone Pocket rancangan Issey Miyake. Tas saku Rp3 jutaan ini menggabungkan estetika, eksklusivitas, dan absurditas khas Apple.
Apple merilis iPhone Pocket rancangan Issey Miyake. Tas saku Rp3 jutaan ini menggabungkan estetika, eksklusivitas, dan absurditas khas Apple.

Kalimantannews.id, Pulau Kalimantan - Apple lagi-lagi membuktikan bahwa logika bisa dikemas jadi gaya hidup modern kekinian.

Setelah iPhone semakin tipis dan dompet semakin tebal tergerus harganya, kini datang iPhone Pocket, tas mini hasil kolaborasi Apple dengan Issey Miyake, desainer asal Jepang terkenal dengan potongan busana eksperimentalnya.

Tas ini bukan casing, bukan dompet, tapi entah apa. Apple menyebutnya “cara baru membawa iPhone dengan gaya.”

Publik menyebutnya “tas buat saku yang hilang karena tren celana longgar.” Versi pendek dibanderol $150, dan versi panjang $230, atau setara Rp2,3 juta hingga Rp3,5 juta.

Tersedia mulai 14 November, di delapan negara termasuk Jepang, Korea Selatan, Inggris, dan Tiongkok. Indonesia? Tentu saja belum. Tapi hype-nya sudah menular lewat media sosial.

Gaya Jadi Logika

Apple Design Studio rupanya ingin membuktikan kalau estetika bisa dijual bahkan tanpa fungsi baru.

Desain iPhone Pocket diklaim terinspirasi dari konsep “sepotong kain serbaguna” khas Jepang, yang bisa dibentuk jadi apa pun dari syal hingga tas mini untuk ponsel.

Issey Miyake menciptakan material “rajutan 3D”, kain elastis yang menahan ponsel tanpa menutup lensanya.

Fungsional? Mungkin. Tapi ironisnya, benda ini hadir di tengah tren minimalisme Apple yang katanya anti “aksesori berlebihan.”

Bahkan Miyake sendiri berkata “Idenya adalah membiarkan hal-hal yang kurang terdefinisi agar memungkinkan interpretasi pribadi.”

Kalimat yang seakan cocok jadi motto Apple baru Tak harus jelas, yang penting mahal.

Ada delapan warna untuk tali pendek: lemon, mandarin, ungu, merah muda, merak, safir, kayu manis, dan hitam.

Sementara tali panjang hanya tiga safir, kayu manis, dan hitam. Semua bernama indah, tapi tentu saja tak bisa menutupi satu fakta sederhana bahwa ini hanya tas kecil untuk ponsel.

Namun Apple selalu tahu cara membuat orang merasa membeli lebih dari sekadar benda.

Bungkusnya eksklusif, bahannya elegan, narasinya puitis, dan label “limited edition”-nya menggoda.

Cukup untuk membuat dompet ikut kering karena keindahan yang tak bisa dijelaskan.

Estetika Bertemu Egosentrisme

Apple tampak sedang bermain di wilayah baru: fashion art dengan sentuhan teknologi. Kolaborasi ini bisa dianggap “pemanasan” sebelum Apple benar-benar masuk ke dunia mode.

Namun, langkah ini juga menyulut perdebatan apakah Apple masih menjual inovasi, atau sekadar menjual aura status sosial?

Banyak yang memuji ide ini sebagai simbol keberanian desain. Tapi di sisi lain, penggemar lama Apple menuding produk seperti ini mengikis identitas perusahaan.

Apple yang dulu mempopulerkan simplicity, kini justru menjual kompleksitas yang tak perlu.

Secara fungsi, iPhone Pocket tak menambah apa pun. Tidak ada teknologi, tidak ada pengisian daya, tidak ada keamanan ekstra.

Ia bahkan tidak melindungi iPhone dari benturan. Yang dijual hanyalah sensasi memiliki sesuatu yang “Apple banget.”

Barang eksklusif, desain unik, dan tentu saja—harga yang tak masuk akal. Padahal Apple sudah punya tali selempang iPhone seharga $59.

Tapi bedanya yang ini tidak dirancang oleh desainer haute couture. Tentu, tidak dijual dengan narasi “keindahan fungsional.”

Siapa yang benar-benar butuh tas mini seharga Rp3 jutaan hanya untuk iPhone? Bagi sebagian besar orang, ini hanyalah simbol gaya bukan kebutuhan.

Sementara Apple tampak menikmati permainan ini, menguji seberapa jauh konsumen mau membayar demi sesuatu yang tidak terlalu perlu.

Namun di balik semua itu, kolaborasi ini adalah cermin zaman di era kapital estetika, bentuk bisa mengalahkan isi, dan gengsi bisa menggantikan fungsi.

Kekurangan iPhone Pocket

Untuk ukuran tas sekecil itu, harganya menantang logika dan dompet. Tidak ada pengisian daya, tidak tahan air, bahkan tak melindungi ponsel.

Hanya dijual di delapan negara besar, tak semua bisa memilikinya. Produk ini lebih cocok untuk pemotretan editorial ketimbang penggunaan harian.

Dulu Apple dikenal dengan ide visioner, kini justru tampil seperti brand fesyen musiman. iPhone Pocket bukan sekadar aksesori. Ia adalah sindiran halus pada obsesi kita terhadap simbol status.

Apple tahu betul bahwa eksklusivitas adalah mata uang baru, dan Issey Miyake hanyalah katalis agar harga mahal terasa punya makna.

Dalam dunia di mana “limited edition” terdengar seperti doa kekayaan, iPhone Pocket berdiri di tengah panggung menjadi bukti bahwa kesederhanaan telah resmi dijual dengan harga premium.

Mungkin, bagi Apple, itu justru kemenangan estetika paling mahal yang pernah mereka raih, tapi, sangat ringkih di kelasnya.
Mengenal Lebih Jauh Apa Itu Robot Foxconn, Cermin Dingin Dunia Tanpa Nurani

Mengenal Lebih Jauh Apa Itu Robot Foxconn, Cermin Dingin Dunia Tanpa Nurani

Etika dan sosial robot humanoid Foxconn bertenaga Nvidia. Dunia kerja tanpa nurani jadi ancaman nyata.
Etika dan sosial robot humanoid Foxconn bertenaga Nvidia. Dunia kerja tanpa nurani jadi ancaman nyata.

Kalimantannews.id, Pulau Kalimantan - Manusia di persimpangan logam. Foxconn kini bukan sekadar pabrik, tapi laboratorium ambisi kemanusiaan yang kabur arah.

Robot humanoid bertenaga Nvidia akan melangkah di jalur produksi, menjadi pengganti tangan manusia yang selama ini menyalakan ekonomi dunia.

Namun di balik cahaya inovasi, ada bayangan panjang yang sulit dihapus. Pekerja manusia dulu bangga menjadi bagian dari rantai industri global.

Kini menatap masa depan yang tak lagi membutuhkan keringat, hanya kode dan algoritma menyeruak tanpa jedah.

Foxconn menyebutnya kemajuan. Tapi bagi banyak pekerja, ini adalah pemutusan rasa. Saat robot datang, mereka kehilangan bukan hanya pekerjaan, tapi juga martabat.

Pabrik Tanpa Kehidupan

Dalam logika industri, efisiensi adalah hukum tertinggi. Robot tidak butuh istirahat, tidak menuntut gaji, tidak punya serikat pekerja.

Mereka tunduk pada perintah chip, bukan nurani. Foxconn memuji kemitraannya dengan Nvidia sebagai tonggak era baru AI manufaktur.

Namun, pabrik pintar yang dibangun di Houston itu terasa lebih seperti laboratorium dingin.

Tak ada canda pekerja di sela jam lembur, tak ada tawa kecil di ruang makan. Semua digantikan suara logam, klik mekanis, dan sensor yang berdenyut tanpa emosi.

Di sana, efisiensi menggantikan empati. Dunia menyebutnya kemajuan, tanpa sadar kita sedang menulis epitaf kemanusiaan.

Etika yang tertinggal di belakang mesin. Pertanyaan terbesar dari langkah Foxconn bukan soal kemampuan teknis.

Tapi, di mana batas moral ketika manusia menciptakan pengganti dirinya sendiri? Dalam sejarah, mesin selalu lahir untuk membantu manusia.

Namun kini, mesin mulai mengambil alih keputusan yang dulu hanya bisa dilakukan oleh manusia.

Kecerdasan buatan bukan sekadar alat, tapi sistem berpikir yang bisa menilai, memilih, dan memutuskan.

Apakah Foxconn siap menanggung tanggung jawab moral jika robot itu gagal? Siapa yang bertanggung jawab bila algoritma membuat kesalahan produksi besar?

Apakah manusia masih punya peran, atau hanya jadi penonton dari revolusi ciptaannya sendiri?

Ironi kemajuan dan ketimpangan. Dalam gemuruh optimisme teknologi, ada fakta yang sering diabaikan.

Setiap robot yang turun ke jalur produksi berarti satu pekerja kehilangan nafkah.

Foxconn punya ratusan ribu karyawan di seluruh dunia, banyak di antaranya hidup dari upah lembur dan tangan yang kasar oleh logam.

Kini, dengan kehadiran robot humanoid, upah minimum tak lagi jadi masalah. Foxconn bisa bekerja 24 jam tanpa keluhan, tanpa biaya tambahan.

Ironinya, hal itu justru disebut sebagai “efisiensi revolusioner”. Padahal di balik angka efisiensi itu, ada keluarga yang kehilangan pendapatan.

Ada komunitas yang perlahan mati karena manusia diganti oleh mesin. Nvidia dan ilusi kecerdasan sajalah itu.

Nvidia, dengan chip AI yang menjadi otak robot-robot itu, tampak bangga menjadi pionir “fabrikasi cerdas generasi baru.”

Namun, istilah “cerdas” itu sendiri kini terasa ironis. Kecerdasan tanpa moral hanyalah kalkulasi tanpa makna.

Robot bisa membaca pola, mengenali suara, menghitung presisi, tapi mereka tak pernah tahu rasanya rindu, lelah, atau takut kehilangan pekerjaan.

Isaac GR00T N, teknologi yang digunakan Foxconn, didesain agar robot bisa berfungsi otonom di ruang kerja.

Namun kata “otonom” di sini punya makna ganda, ia juga menandai kemandirian dari pengawasan manusia.

Ketika mesin mulai memutuskan sendiri, maka manusia tak lagi menjadi pusat dunia kerjanya setiap harinya.

Dunia yang kehilangan cerita. Bayangkan lini produksi tanpa suara manusia. Tak ada lagi kisah pekerja muda yang menabung untuk kuliah adiknya.

Tak ada lagi tangan yang menempelkan logo Apple dengan hati-hati. Semua digantikan oleh genggaman logam yang sempurna, tapi tak berjiwa.

Di situlah kemajuan berubah menjadi kehilangan. Karena dunia tanpa manusia adalah dunia tanpa cerita.

Setiap produk yang lahir dari pabrik itu, akan membawa aroma dingin algoritma, bukan peluh kehidupan.

Kemajuan untuk siapa? Foxconn dan Nvidia menjual mimpi tentang masa depan tanpa kesalahan. Namun jarang mereka bicara tentang masa depan tanpa manusia.

Ingat, AI itu diciptakan untuk memudahkan hidup, tapi kini ia perlahan menyingkirkan kehidupan itu sendiri.

Jika semua lini industri diotomatisasi, apa yang tersisa bagi mereka yang tak punya akses pendidikan teknologi?

Bagaimana nasib jutaan pekerja yang selama ini menjadi tulang punggung produksi global atau bagaimana?

Kemajuan seharusnya mengangkat, bukan menggantikan. Namun, dalam obsesi efisiensi, manusia justru jadi korban kemajuan yang ia ciptakan sendiri.

Robot humanoid Foxconn adalah lambang kemenangan logika atas rasa. Mereka mungkin sempurna dalam fungsi, tapi hampa dalam makna.

Kita menyebutnya inovasi, tapi mungkin kelak anak cucu kita menyebutnya kehilangan. Karena teknologi seharusnya menjadi perpanjangan tangan manusia, bukan penghapus keberadaannya.

Foxconn dan Nvidia memang tengah membangun masa depan. Namun, masa depan tanpa hati tak pernah benar-benar hidup.

Bila kelak dunia kerja dipenuhi robot, mungkin yang paling dirindukan bukan efisiensi melainkan rasa manusia itu sendiri.

Foxconn dan Nvidia kini berdiri di garis antara kemajuan dan kemerosotan moral. Robot humanoid yang mereka bangun memang cerdas, tapi kosong dari nurani. 

Kecerdasan buatan hanyalah refleksi ambisi manusia untuk menjadi Tuhan.

Namun, seperti kisah klasik Frankenstein, pencipta sering lupa ciptaannya bisa membuatnya kehilangan kemanusiaannya sendiri.
Borneo Fair 2025, Panggung 400 UMKM Kalimantan Barat Kejar Transaksi Rp50 Miliar

Borneo Fair 2025, Panggung 400 UMKM Kalimantan Barat Kejar Transaksi Rp50 Miliar


Borneo Fair 2025, Panggung 400 UMKM Kalimantan Barat Kejar Transaksi Rp50 Miliar
Borneo Fair 2025 jadi panggung spektakuler bagi 400 UMKM Kalimantan Barat dengan target transaksi Rp50 miliar.

Kalimantanews.id, Kota Pontianak Kalimantan Barat - Kota Pontianak kembali menggeliat. Dari GOR Terpadu, aroma semangat bisnis menggantung di udara lembab sore hari.

Ratusan UMKM bersiap membuka tirai panggung besar bernama Borneo Fair 2025 sebuah pesta ekonomi rakyat menjanjikan perputaran transaksi hingga Rp50 miliar hanya dalam sepuluh hari.

Sebagai ajang promosi bisnis terbesar di Kalimantan Barat, event ini menjadi lebih dari sekadar pameran dagang.

Ia adalah perayaan kerja keras, mimpi kecil menolak menyerah, dan denyut nadi ekonomi kerakyatan yang semakin kuat di tengah gempuran pasar digital.

“Kita berharap target transaksi perputaran ekonomi di event Borneo Fair ini sekitar Rp40–50 miliar,” tutur CEO Holding Firmans Grup, Hendra Firmansyah dengan nada penuh keyakinan usai Technical Meeting para tenan.

Lebih dari 400 UMKM siap berkompetisi dalam balutan kreativitas dan kearifan lokal menyatu bersama.

Dari kerajinan tangan yang masih berbau rotan, hingga minuman herbal kekinian yang sedang tren di kalangan muda.

Ide Ruang Kreatif

Borneo Fair 2025 bukan hanya soal jual beli, ia adalah ruang interaksi sosial, tempat ide-ide kecil bermetamorfosis menjadi peluang besar.

“Target pengunjung sekitar 20 ribu orang per hari, bisa dua kali lipat di akhir pekan,” jelas Hendra lagi soal itu.

Jumlah yang fantastis, mengingat antusiasme masyarakat Pontianak terhadap event semacam ini nyaris selalu di luar prediksi.

Di balik hiruk-pikuk itu, PT Alfarizi Media Nusantara, anak perusahaan Holding Firmans Grup, menjadi motor penggerak.

Mereka menyiapkan bazar kuliner, teknologi, agribisnis, jasa, kerajinan, hingga fashion menciptakan lanskap ekonomi yang heterogen, layaknya miniatur pasar bebas dalam versi rakyat.

Panggung musik pun tak kalah menggoda. Ada Festival Band Pelajar, Dance Competition (KPOP dan Modern), hingga Intimate Concert artis ibu kota.

Semua berpadu dalam ritme ekonomi kreatif yang tak sekadar mencari laba, tapi juga pengalaman emosional.

“Konser dari sejumlah artis ibu kota juga kita hadirkan. Ditambah lagi doorprize motor, motor listrik, dan umrah untuk dua orang,” ujar Hendra tersenyum lebar.

Borneo Fair memang paham betul cara menggoda publik. Daya tarik bukan semata pada transaksi, tapi pada suasana, pada denyut hidup dirayakan bersama.


Gerak Ekonomi Kerakyatan

Lebih dalam, makna Borneo Fair 2025 tidak hanya berhenti di tumpukan struk belanja.

Ia menembus ruang kebijakan, menyentuh arah program pemerintah tentang ekonomi kerakyatan kini menjadi narasi besar di masa pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto.

“Intinya, kita menggerakkan ekonomi kerakyatan yang mengacu pada program pemerintah,” jelas Project Manager Borneo Fair, Iskandar, dalam wawancara penuh nada optimisme.

“Selain itu, kita juga berkolaborasi dengan kegiatan budaya dan ekonomi kreatif,” dia mengutarakan lebih jauh.

Iskandar tak berlebihan. Karena di balik setiap stan, terselip kisah tentang perjuangan.

Ada Wulan, pemilik brand Macha, yang membawa produk minuman herbal trendi hasil racikan tangan sendiri.

“Selama ini pameran paling lama seminggu, tapi Borneo Fair bisa 10 hari. Bagus sekali untuk promosi,” ucapnya dengan mata berbinar.

Ada pula Rita, penjaga cita rasa tradisi, yang membawa kue basah dan makanan lokal khas Kota Pontianak Kalimantan Barat.

Ia berharap produk tradisionalnya mendapat ruang di hati generasi muda di antara hiruk inovasi digital dan selera instan yang kian mendominasi.

Di titik ini, Borneo Fair bukan lagi sekadar ajang dagang. Ia adalah kaleidoskop ekonomi lokal, tempat nilai budaya, semangat usaha, dan cita-cita kemakmuran berjalin erat.

Dari balik tenda kecil, anak-anak muda belajar menjual mimpi. Dari setiap transaksi, mengalir keyakinan bahwa ekonomi Indonesia tidak selalu harus bergantung pada korporasi besar kadang ia tumbuh dari tangan-tangan kecil tak pernah berhenti berinovasi.

Pasar Panggung Perubahan

Dalam gemerlap lampu GOR Terpadu, maka semua menyaksikan wajah ekonomi Kalbar yang sesungguhnya.

Bukan hanya angka-angka dalam laporan bisnis, tapi denyut manusia yang bekerja, berharap, dan berjuang.

Borneo Fair 2025 hadir sebagai simbol optimisme ekonomi rakyat. Ketika kreativitas lokal dan kepercayaan diri UMKM diberi panggung, maka arus ekonomi bukan hanya mengalir, ia menari.

Di setiap tarian itu, tersimpan doa kecil dari ratusan pelaku usaha semoga langkah kecil mereka hari ini menjadi riak besar bagi masa depan ekonomi kerakyatan Kalimantan Barat inklusif, kreatif, dan berdaulat.
iPhone 18 Pro, Noda Gila Plastik Masa Lalu Dibungkus Mewah Apple Tahun Ini

iPhone 18 Pro, Noda Gila Plastik Masa Lalu Dibungkus Mewah Apple Tahun Ini

Apple menggoda dunia dengan desain transparan dan kamera nostalgia ala Samsung Galaxy S9. Inovasi atau kemunduran berlapis kaca?
Apple menggoda dunia dengan desain transparan dan kamera nostalgia ala Samsung Galaxy S9. Inovasi atau kemunduran berlapis kaca?

Kalimantannews.id, Pulau Kalimantan - Ada denting halus di Cupertino. Tak selalu berasal dari laboratorium inovasi, kadang dari rak kenangan yang disapu ulang.

iPhone 18 Pro, yang katanya masa depan, malah menoleh ke belakang, ke tahun 2018, saat Galaxy S9 masih muda dan gagah.

Kini Apple, sang penentu arah zaman, tampak seperti menyalin arsip nostalgia dan membungkusnya dengan kaca mahal.

Desain transparan kata yang indah dan futuristik. Bocoran itu berasal dari Digital Chat Station, sosok misterius sering menyingkap rahasia pabrik teknologi.

Tapi tunggu sebentar transparansi di punggung ponsel? Bukankah Nothing sudah mencobanya lebih dulu, dengan lampu LED yang berkelap-kelip seperti malam festival?

Apple tampaknya ingin bicara, “lihat, kami juga bisa jujur, kami juga berani membuka isi perut perangkat kami.”

Namun, di dunia teknologi, transparansi jarang polos. Ia sering jadi kosmetik visual, bukan manifesto kejujuran.

Kaca itu bisa tembus pandang, tapi niat di baliknya tetap buram, tersembunyi di balik strategi pasar.

Mari bicara soal kamera. Konon, iPhone 18 Pro akan membawa bukaan variabel teknologi lama yang dulu dicoba Samsung lewat Samsung Galaxy S9.

Seolah Apple ingin mengulang masa itu, menggali inovasi lawas, dan menjualnya kembali dengan label “Pro”.

Ironinya manis. Apple yang dulu menertawakan notch kompetitor, kini justru menghilangkan Dynamic Island ciptaannya sendiri.

Kamera depan akan berwujud lubang kecil, punch-hole, kata DCS, lubang yang katanya lebih elegan, lebih minimalis.

Namun, di balik lubang kecil itu, tersembunyi pertanyaan besar. Apakah Apple mulai kehilangan arah inovasi?

Bukaan variabel sejatinya bukan hal baru. Ia mengatur cahaya, mempermainkan kedalaman, seperti fotografer tahu kapan harus menutup hati.

Namun, di tangan Apple, teknologi ini berpotensi jadi legenda pemasaran baru, dikemas dengan nama puitis dan harga tak masuk akal.

Mereka pandai membuat lama terasa baru, membungkus masa lalu dengan logam mulia, menjual nostalgia sebagai inovasi.

Desain kamera belakang disebut tetap besar dan horizontal. Sebuah pulau kaca yang menatap dunia, tak lagi diam tapi semakin mencolok.

Apple seolah berkata,tak menjamin daya tahan emosi pengguna. Logam kuat tak selalu berarti hati kuat, karena ponsel tetap bisa panas, dan pengguna tetap bisa kecewa.

AppleInsider menyebut itu ruang uap pendingin. Kesan premium memang selalu diciptakan dari istilah, bukan semata fungsi.

Jika Samsung Galaxy S9 dulu tampil berani, iPhone 18 Pro hadir penuh ragu,umor ini sudah bergema, menunjukkan bagaimana industri tak lagi sabar menunggu waktu.

Apple tampak sadar, inovasi kini tak lagi soal terobosan, tapi tentang siapa yang paling cepat menciptakan kabar.

Setiap bocoran jadi bahan bakar, setiap rumor jadi strategi marketing, setiap ilusi jadi kebenaran kecil di timeline sosial media.

Dalam dunia yang haus tren, desain transparan bisa jadi cermin, bukan untuk menatap teknologi, tapi ego kita sendiri.

Di media sosial, sebagian penggemar bersorak. Mereka menulis: “Akhirnya Apple keluar dari zona aman.”

Sebagian lain menghela napas panjang. “Bukankah dulu kita mengejek S9 karena gimmick bukaan variabel?” tulis seorang pengguna di forum teknologi.

“Sekarang kita membelanya karena logo Apple di belakangnya.” Begitulah dunia teknologi berjalan, bukan dengan arah moral, tapi dengan arus gengsi dan simbolisme.

Inovasi sejati kini jarang, karena setiap langkah kecil dibungkus besar, dan setiap ide lama diberi nama baru.

Mungkin itulah yang membuat Apple tetap hidup. Kemampuan mengubah déjà vu menjadi sensasi, mengubah masa lalu menjadi premium.

Namun, di antara segala kilau itu, tersisa pertanyaan mendalam. Apakah desain transparan ini akan tahan waktu?

Kaca, seindah apa pun, tetap rentan retak. Apple memang jenius dalam menjual perasaan, tapi perasaan, seperti kaca, tak selalu kuat menahan tekanan.

Jika dulu Samsung Galaxy S9 dianggap eksperimen, maka iPhone 18 Pro mungkin jadi perayaan nostalgia,Yang terlihat mewah, justru paling cepat rapuh.

Sebagian analis menilai langkah Apple ini sebagai sinyal. Bukan tanda krisis, melainkan adaptasi dari kejenuhan pasar yang haus sensasi baru.

Dengan kamera lubang kecil, bukaan variabel, dan punggung kaca transparan, Apple bicara lewat simbol.

Mereka ingin kembali “disrupsi”, tapi dunia kini sudah terlalu sering dikejutkan, hingga kejutan pun kehilangan rasa.

Mungkin ini bukan tentang kamera, bukan pula desain, melainkan tentang bagaimana Apple menulis ulang sejarahnya sendiri.

Cermin Zaman Teknologi

Dari notch ke punch-hole, dari titanium ke kaca transparan, dari kesombongan ke kejujuran semu sajalah itu.

Para penonton setia inovasi, kembali menatap layar, menunggu apa lagi yang akan dijual sebagai “terobosan”.

Pada akhirnya, setiap generasi iPhone adalah cermin zaman teknologi, tren, dan obsesi yang saling bercampur.

Tapi iPhone 18 Pro memberi kita pelajaran sunyi, bahwa kemewahan tak selalu berarti kemajuan, dan nostalgia bisa dijual dengan harga premium.

Apple masih memegang kendali narasi, tapi dunia kini mulai belajar bertanya. Apakah transparansi ini sungguh jujur, atau sekadar tipuan kaca?
MIMPI GILA Elon Musk Padamkan Matahari, Ilusi Perubaan Iklim Ego Teknologi Dunia

MIMPI GILA Elon Musk Padamkan Matahari, Ilusi Perubaan Iklim Ego Teknologi Dunia

Elon Musk ingin meredupkan matahari lewat armada satelit AI. Gagasan penyelamatan perubahan iklim yang menakutkan dan memikat dunia.
Elon Musk ingin meredupkan matahari lewat armada satelit AI. Gagasan penyelamatan perubahan iklim yang menakutkan dan memikat dunia.

Kalimanntannews.id, Pulau Kalimantan - Elon Musk kembali mengguncang dunia dengan mimpi barunya melampaui batas manusia. Ia ingin meredupkan matahari, bukan dengan puisi, tapi dengan konstelasi satelit bertenaga AI.

Ketika ide menyelamatkan bumi berujung pada eksperimen global yang menantang batas moral dan logika manusia.

Langit dijadikan laboratorium, sementara bumi dijadikan kelinci percobaan dari ego sains yang menggigilkan.

Ide ini, katanya, untuk menyelamatkan bumi dari pemanasan global yang makin menggila.

Sebuah konstelasi satelit SpaceX yang dikendalikan AI akan menyesuaikan seberapa banyak cahaya matahari yang sampai ke bumi.

Sebuah rencana besar yang terdengar heroik, tapi berbau distopia, seperti film fiksi ilmiah yang lupa menulis akhir bahagia.

Bayang-Bayang SRM

Konsep Musk ini bukan baru, tapi versi megah dari Solar Radiation Management (SRM).

Sebuah metode yang menghalangi sinar matahari agar bumi tak kepanasan dengan risiko yang lebih gelap dari namanya.

Para ahli dari Columbia Climate School memperingatkan, ide seperti ini bisa menimbulkan kekacauan ekosistem global.

Perubahan curah hujan, rusaknya lapisan ozon, hingga hasil panen yang ambruk bisa jadi efek sampingnya.

Mendinginkan bumi dengan menutup sinar matahari terdengar sederhana, tapi siapa berani mematikan pelita kehidupan?

Elon Musk seolah memainkan peran sebagai dewa kecil di atas atmosfer, lengkap dengan armada logam yang berputar di langit.

AI dan Ambisi

Rencana ini akan dikendalikan AI milik perusahaan xAI yang sedang dibanggakan Elon Musk.

Sistem kecerdasan buatan yang bisa menganalisis radiasi matahari dan suhu global secara mandiri. Namun, apa jadinya jika AI ini salah menghitung atau disabotase oleh tangan manusia yang serakah?

Bumi bisa beku dalam semalam atau terbakar dalam hitungan minggu. Tidak ada tombol undo dalam proyek sebesar planet.

Kali ini, kesalahan bukan sekadar bug—tapi potensi kiamat yang diunduh dari satelit milik miliarder. Di platform X, publik menjawab ide ini dengan tawa getir dan sinisme yang menggema.

“Pak Burns punya ide yang sama,” tulis seorang pengguna, merujuk pada episode The Simpsons. Yang lain lebih tajam, “Kita bahkan tak bisa sepakat soal plastik, sekarang kita mau atur matahari?”

Pertanyaan yang lebih menakutkan muncul dari logika sederhana: siapa yang memegang kendali atas “termostat dunia”?

Apakah Musk dan AI-nya boleh menentukan kapan bumi harus hangat dan kapan dingin?

Jika ya, maka cuaca bukan lagi milik alam, tapi algoritma. Dan kita hanyalah penghuninya yang disewakan.

Penyelamatan Berubah Eksperimen

Gagasan Elon Musk memang memancing imajinasi juga ketakutan. Ia menganggap teknologi adalah obat bagi semua luka bumi, bahkan luka yang ia bantu perparah lewat industri energinya sendiri.

Dalam upaya menyelamatkan dunia, ia nyaris lupa bahwa manusia bukan pemilik bumi, hanya penumpang di perjalanannya.

Kritikus menyebut ide ini bukan solusi, melainkan gejala penyakit modern bernama technological hubris.

Ketika manusia mengira bisa mengatur alam seolah menulis kode di layar laptop. Namun alam tak pernah tunduk pada kode, dan langit bukan server yang bisa direstart.

Mungkin saja Elon Musk benar. Bumi perlu diselamatkan. Tapi tidak dengan menutup sinarnya. Pemanasan global bukan soal cahaya matahari, melainkan ketamakan manusia di bawahnya.

Sementara itu, gagasan seperti ini hanya menunda tanggung jawab dan membuka pintu bencana yang lebih megah.

Satelit-satelit itu bisa jadi simbol peradaban yang kehabisan akal menghadapi krisis yang ia ciptakan sendiri.

Atau tanda dari zaman baru ketika batas moral dan teknologi melebur tanpa rasa bersalah. Kala di tengah semua itu, kita makhluk kecil yang menatap langit hanya bisa bertanya.

Apakah ini penyelamatan, atau awal dari akhir yang diprogram dengan sempurna? Ini bukan sekadar kritik atas ide futuristik Elon Musk, tapi renungan tentang batas ambisi manusia.

Teknologi memang bisa menjadi jembatan menuju masa depan, tapi ia juga bisa jadi jurang yang dalam. Kadang, yang kita kira sinar penyelamat, justru datang dari tangan mencoba memadamkan matahari.

Formulir Kontak