Kalimantannews.id
 Di Balik Tenun Kopi, Tanah Bersertifikat Lahirkan Jiwa Wirausaha di MTQ Kapuas Hulu

Di Balik Tenun Kopi, Tanah Bersertifikat Lahirkan Jiwa Wirausaha di MTQ Kapuas Hulu

Di Balik Tenun Kopi, Tanah Bersertifikat Lahirkan Jiwa Wirausaha di MTQ Kapuas Hulu
Sertifikat Bukan Cuma Kertas, Ia Jadi Pintu Rezeki di Tepian Sungai Kapuas

Kalimantannews.id, Kapuas Hulu - Di ujung utara Kalimantan Barat, jauh dari hiruk-pikuk kota besar, di tanah yang dibelah Sungai Kapuas nan megah, ada sebuah kisah yang tak banyak orang tahu.

Bukan tentang qari-qariah yang melantunkan ayat suci dengan merdu, bukan pula tentang panggung megah atau sorot lampu kamera.

Tapi tentang selembar kertas sertifikat tanah yang diam-diam mengubah hidup puluhan keluarga di Kapuas Hulu.

Ya. Di tengah gegap gempita MTQ ke-33 Tingkat Provinsi Kalimantan Barat yang digelar di Putussibau, 14-20 September 2025, ada satu stand yang tak sekadar jualan. Ia bercerita. 

Ia bersaksi. Ia menangis haru dalam diam. Stand Kantor Pertanahan Kabupaten Kapuas Hulu.

Di sana, bukan brosur atau peta tanah yang dipajang. Tapi kain tenun Sidan yang warnanya seperti senja di tepi danau.

Sape kecil yang nadanya menggetarkan jiwa Dayak. Kopi Kropinka bubuk yang aromanya menggoda lidah sebelum sempat diseduh. 

Asbak berbentuk trenggiling, hewan langka yang jadi simbol kearifan lokal yang dipahat dengan tangan penuh sabar.

“Ini bukan pameran dagang biasa,” ujar Dicky Zulkarnain, Kepala Kantor Pertanahan Kapuas Hulu, Selasa, 16 September 2025, matanya berbinar.

“Ini bukti bahwa reforma agraria bukan cuma program pemerintah. Ia napas hidup. Ia harapan. Ia masa depan,” ucapnya menambahkan.

Rakyat Pun Berdaya

Mari kita mundur sedikit. Tahun 2023. Saat program PTSL (Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap) dan Redistribusi Tanah mulai digulirkan di pelosok Kapuas Hulu.

Bukan cuma mengukur batas tanah. Bukan cuma memberi nomor dan cap resmi. Tapi juga memberi pendampingan. Memberi akses. Memberi keberanian.

Melalui program Akses Reform, Kantor Pertanahan tak hanya jadi birokrat pencatat tanah. Mereka jadi fasilitator. Jadi mentor. Jadi teman ngobrol di bawah pohon rindang sambil minum kopi panas.

“Kami ajak mereka berpikir tanahmu sekarang legal. Apa yang bisa kau buat darinya?” kata Dicky, suaranya pelan tapi penuh keyakinan.

Dan jawabannya? Luar biasa. Ibu-ibu di Nanga Danau mulai menanam kunyit organik, lalu mengolahnya jadi bubuk instan yang dikemas cantik. 

Remaja di Embaloh Hulu misalnya. Mereka belajar menenun sutra rajut, motifnya terinspirasi dari legenda nenek moyang.

Bapak-bapak di Putussibau Utara mengukir kayu jadi miniatur tameng Dayak, simbol keberanian yang kini jadi oleh-oleh wisatawan.

Semua produk itu dari syal tenun hingga kerupuk buah naga lahir dari tanah yang kini punya nama pemilik resmi. 

Dari tanah yang dulu tak jelas statusnya, kini jadi jaminan usaha, jadi modal pinjaman, jadi pijakan untuk berdiri tegak.

Rasa dari Hati Borneo

Dan di MTQ 2025 ini, semua karya itu dipamerkan. Bukan sebagai pelengkap. Tapi sebagai inti cerita.

Bayangkan di antara lantunan merdu Al-Qur’an, di sela-sela lomba hafalan dan tartil, ada aroma bubur pedas yang menggugah selera. 

Ada suara gemerincing gelas teh dari set teko keramik buatan tangan. Ada tawa anak-anak yang memegang miniatur sape, alat musik tradisional Dayak yang kini jadi mainan edukatif.

“Kami sengaja sajikan kuliner khas juga kerupuk basah dan bubur pedas,” kata Dicky menjelaskan lebih lanjut. 

“Agar pengunjung tak hanya melihat, tapi merasakan. Merasakan semangat masyarakat sini. Semangat yang lahir dari tanah yang dulu terlantar, kini jadi sumber rezeki.”

Ini bukan sekadar pameran UMKM. Ini adalah narasi besar tentang keadilan agraria yang berwajah manusiawi. 

Tentang bagaimana negara hadir bukan hanya dengan regulasi, tapi dengan empati. Dengan pendampingan.

Dengan keyakinan bahwa rakyat kecil pun bisa berdaya  asal diberi pijakan yang kuat.

Bukan Hanya Peta

Apa yang dilakukan Kantor Pertanahan Kapuas Hulu adalah contoh sempurna dari “agraria berbasis manusia”. 

Bukan sekadar bagi-bagi sertifikat. Tapi membangun ekosistem. Membangun rantai nilai. Membangun harga diri.

Dalam dunia jurnalistik feature, ini adalah “human interest” yang sempurna. Kita tak bicara angka berapa hektar tanah yang disertifikasi, berapa miliar rupiah nilai ekonominya.

Tapi kita bicara tentang Maria, ibu tiga anak yang kini punya usaha tenun Sidan dan bisa menyekolahkan anaknya sampai SMA. 

Kita bicara tentang Pak Usman, pensiunan guru yang kini jadi pengrajin asbak arwana, dan tiap bulan punya penghasilan tambahan.

Ini adalah cerita tentang transformasi diam-diam. Tentang bagaimana kebijakan nasional yang sering dianggap kering dan birokratis bisa berubah jadi nyawa di akar rumput.

Dan MTQ? Ia menjadi panggung sempurna. Bukan hanya karena even ini besar, ramai, dan dihadiri pejabat tinggi. 

Tapi karena MTQ adalah perayaan nilai-nilai spiritual dan sosial. Di mana agama, budaya, dan ekonomi bertemu dalam harmoni.

Ketika qari melantunkan Surah Ar-Rahman, di stand sebelah, seorang ibu tersenyum lebar karena kopi Kropinka-nya laris manis. Itu bukan kebetulan. Itu simbol. 

Bahwa rezeki tak hanya datang dari langit, tapi juga dari tanah — tanah yang dikelola dengan hak, dengan ilmu, dengan cinta.

Lokal, tapi Universal

Bayangkan kamu berjalan di arena MTQ Putussibau. Udara lembab, aroma dupa dan rempah bercampur. 

Suara rebana dan gendang mengalun. Lalu kamu berhenti di satu stand tak megah, tapi hangat. 

Seorang nenek duduk di belakang meja, tangannya masih lincah menenun. Matanya tajam, tapi senyumnya lembut.

“Ini motif Nanga Manday,” katanya. “Dulu dipakai saat upacara adat. Sekarang jadi syal buat anak muda.”

Kamu sentuh kain itu. Lembut. Hangat. Penuh cerita. Di sebelahnya, seorang bocah laki-laki memegang miniatur sape. “Aku mau jadi pemain sape kayak kakek,” katanya polos.

Dan kamu sadar. Inilah Indonesia yang sesungguhnya. Bukan di gedung pencakar langit Jakarta.

Tapi di sini. Di Kapuas Hulu. Di mana tanah diberi hak, lalu melahirkan seni. Melahirkan usaha. Melahirkan mimpi.

Ketika Negara Hadir, Rakyat Pun Berbunga

Di penghujung hari, saat lentera MTQ mulai dinyalakan, dan lantunan ayat suci kembali berkumandang, stand Kantah Kapuas Hulu masih ramai.

Tak ada spanduk besar. Tak ada iklan berbayar. Cuma produk kecil yang penuh makna. Cuma senyum tulus para pengrajin. Cuma secangkir kopi Kropinka yang masih hangat di tangan pengunjung.

Tapi di situlah letak keajaibannya. Karena pembangunan sejati bukan diukur dari beton dan jalan tol. Tapi dari berapa banyak hati yang berubah. 

Berapa banyak tangan yang kini berani bermimpi. Berapa banyak anak yang bisa sekolah karena ibunya punya usaha dari tanah warisan yang kini legal.

Kantor Pertanahan Kapuas Hulu tak cuma mengukur tanah. Mereka mengukur harapan. Dan di MTQ 2025 ini, mereka membuktikan ketika tanah diberi hak, rakyat pun berbunga.

Seperti bunga teratai di rawa Kapuas Hulu, tumbuh dari lumpur, tapi mekar dengan indah memanjakan mata melihatnya.

 Polantas Menyapa Kapuas Hulu Mengetuk Pintu: Mengenang Jasa, Menyapa Hati

Polantas Menyapa Kapuas Hulu Mengetuk Pintu: Mengenang Jasa, Menyapa Hati

Polantas Menyapa Kapuas Hulu Mengetuk Pintu: Mengenang Jasa, Menyapa Hati
Polantas Kapuas Hulu: Menyapa Bukan Sekadar Kunjungan, Tapi Memeluk Kenangan Kemanusiaan

Kalimantannews.id, Kapuas Hulu - Ada yang berbeda di udara Putussibau Utara, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Bukan kabut sungai yang menyelimuti, bukan deru kendaraan yang memecah sunyi tapi langkah kaki anggota Polantas sengaja melipir dari jalan raya, mengetuk pintu rumah-rumah tua, membawa senyum, sembako, dan rasa hormat tak terucap.

Mereka datang bukan untuk razia. Bukan untuk tilang. Tapi untuk menyapa.

Ya, “Polantas Menyapa” bukan slogan kosong. Ini gerakan jiwa. Gerakan yang lahir dari napas HUT Lalu Lintas Bhayangkara ke-70, tapi berdetak jauh lebih dalam dari sekadar seremoni. 

Di tangan Kasat Lantas Polres Kapuas Hulu, AKP Cahya Purnawan dan timnya, momentum peringatan ini diubah jadi pelukan moral bagi mereka yang pernah berjaga di garis depan, dan uluran tangan bagi mereka yang kini berjuang di garis belakang kemiskinan.

Dua Rumah, Dua Kisah

Di Jalan M. Yasin, rumah sederhana An. Parwana menyambut rombongan dengan pintu terbuka lebar. Usianya sudah senja. Tubuhnya tak lagi tegap seperti dulu saat mengenakan seragam cokelat. 

Tapi matanya masih berbinar ketika melihat seragam itu datang kali ini bukan untuk operasi, tapi untuk silaturahmi.

“Saya kira sudah dilupakan,” tuturnya lirih, sambil memegang paket sembako yang diberikan gula, kopi, teh, mie instan. Barang sederhana. Tapi maknanya? Tak tergantikan.

Tak jauh dari situ, di Jalan A. Dogom, rumah Dony menyambut dengan senyum getir. Ia pensiunan polisi yang kini hidup tenang, jauh dari hiruk-pikuk markas.

“Dulu saya yang jaga jalan, sekarang jalan yang menjaga saya,” candanya, sambil menunjuk tongkat yang kini jadi penopang langkahnya.

Kunjungan ini bukan cuma seremonial. Ini pengakuan. Pengakuan bahwa jasa mereka yang dulu berjibaku di panas dan hujan, mengatur arus kendaraan, menertibkan pelanggar, menyelamatkan nyawa di jalan masih dihargai. Masih dikenang. Masih dihormati.

Kasat Lantas Polres Kapuas Hulu, AKP Cahya Purnawan dengan suara rendah tapi penuh bobot, berkata mereka adalah fondasi. 

"Tanpa mereka, kami tak akan berdiri di sini. Memberi sembako bukan soal nilai materi. Tapi soal pesan ‘Kami masih ingat. Kami masih sayang" kata AKP Cahya Purnawan. 

Misi Menebar Kebaikan

Tapi gerakan “Polantas Menyapa” tak berhenti di rumah purnawirawan. Seperti aliran Sungai Kapuas yang tak kenal lelah, kepedulian itu mengalir ke rumah rumah lain yang atapnya bocor, yang dapurnya sering tak berasap, yang anak-anaknya menahan lapar demi bisa sekolah.

Di sudut lain Putussibau Utara, ibu-ibu menerima paket sembako dengan mata berkaca-kaca. 

Beras 5 kg, mie instan satu dus, gula, kopi, teh barang yang mungkin dianggap remeh di kota besar, tapi di sini, di pelosok Kalimantan Barat, itu adalah napas tambahan.

“Saya kerja jadi buruh cuci. Kadang dapat, kadang tidak. Ini… ini berkah,” kata seorang ibu sambil menggenggam erat beras yang diberikan.

Ipda Agung Herlambang, Kaur Bin Ops Satlantas, menambahkan," Kami ingin tunjukkan bahwa Polantas bukan hanya penegak hukum. Kami juga manusia. Kami juga punya hati. Dan hati ini ingin dekat dengan rakyat.” 

Inilah wajah Polri Humanis yang sering didengungkan tapi jarang dirasakan. Di Kapuas Hulu, ia bukan retorika.

Ia nyata. Ia hadir dalam bentuk sembako, jabat tangan, dan senyum tulus di tengah keterbatasan.

Di era di mana polisi sering dicap “galak”, “seram”, atau “cuma cari duit”, gerakan seperti ini adalah counter-narrative yang cerdas. Ini bukan sekadar CSR. Ini strategi membangun trust jangka panjang.

Pertama, dari sisi psikologis sosial masyarakat butuh merasa dilindungi, bukan ditakuti. Ketika polisi datang dengan membawa bantuan, bukan surat tilang, maka citra “musuh” berubah jadi “sahabat”. 

Ini penting, terutama di daerah terpencil seperti Kapuas Hulu, di mana kehadiran negara seringkali hanya terasa saat ada razia atau kejahatan.

Kedua, dari sisi nilai historis Menghargai purnawirawan adalah bentuk pengakuan terhadap institusi. Ini mengirim pesan ke generasi muda polisi.

“Pengabdianmu tidak akan dilupakan. Negara ingat.” Ini membangun loyalitas dan semangat pengabdian.

Ketiga, dari sisi branding institusi di tengah gempuran media sosial yang cepat menyebarkan citra negatif, kegiatan seperti ini adalah soft power yang ampuh. 

Foto polisi tersenyum bagi-bagi sembako lebih viral daripada foto polisi marah-marah. Dan viralitas positif inilah yang perlahan mengubah persepsi publik.

Kopi dan Kenangan

Di beranda kayu rumah Parwana, Kasat Lantas Polres Kapuas Hulu, AKP Cahya Purnawan duduk bersila. 

Di antara mereka, secangkir kopi hitam mengepul. Tak ada protokol. Tak ada jarak jabatan. Hanya dua orang yang satu masih bertugas, yang satu sudah pensiun berbagi cerita lama.

“Dulu tahun ’98, saya jaga simpang empat dekat pasar. Macet parah. Belum ada lampu merah. Semua manual,” kenang Parwana.

Cahya tersenyum. “Sekarang pun masih sering manual, Pak. Tapi sekarang ada CCTV, ada aplikasi. Beda zaman.”

Mereka tertawa. Kopi mereka hampir habis. Tapi rasa hangatnya? Masih tersisa.

Di rumah Bu Siti, seorang janda tua penerima sembako, Aiptu Sophian membantu mengangkat beras ke dapur. “Hati-hati, Bu. Jangan angkat sendiri nanti sakit pinggang.”

“Nak, kamu polisi ya? Kok baik sekali?” tanya Bu Siti polos.

“Iya, Bu. Polisi juga punya ibu. Kalau ibu saya jauh, izinkan saya jadi anak Bu Siti hari ini,” jawab Sophian, membuat Bu Siti menitikkan air mata.

Ini bukan angka. Ini bukan pula statistik. Tapi rasa. Bukan laporan. Tapi cerita. Dan cerita inilah yang melekat di hati pembaca jauh lebih dalam daripada headline berita kecelakaan atau razia SIM.

Di Ujung Jalan

Kegiatan ini berakhir dengan laporan resmi  “Lancar, aman, kondusif.” Tapi bagi mereka yang menerima sembako, yang dipeluk oleh seragam cokelat, yang merasa “masih diingat” ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar kepercayaan.

Di tengah hutan Pulau Kalimantan bagian barat itu, di tepi sungai yang tenang, Polantas Kapuas Hulu membuktikan bahwa tugas mereka bukan hanya mengatur lalu lintas kendaraan, tapi juga lalu lintas hati.

Dari masa lalu ke masa kini. Dari purnawirawan ke warga miskin. Dari institusi ke manusia.

Dan ketika Kasat Lantas Polres Kapuas Hulu, AKP Cahya Purnawan menutup kegiatan dengan senyum, ia tahu.

“Kami bukan cuma mengatur jalan. Kami sedang membangun jalan jalan kepercayaan, jalan kemanusiaan, jalan pulang ke hati rakyat,” kata Kasat Lantas Polres Kapuas Hulu, AKP Cahya Purnawan. 

Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald John Trump Main Kucing TikTok: Drama Larang Jual Tak Pernah Tamat

Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald John Trump Main Kucing TikTok: Drama Larang Jual Tak Pernah Tamat

Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald John Trump Main Kucing TikTok: Drama Larang Jual Tak Pernah Tamat
Kalimantannews.id, Pulau Kalimantan - Di panggung politik yang mirip reality show, Presiden Amerika Serikat Donald John Trump kembali menggantung nasib TikTok di atas awan ketidakpastian.

Bayangkan saja sudah perihal empat kali tenggat penjualan platform video 150 juta pengguna AS ini molor. 

Dari Januari ke April, lalu Juni, dan kini 17 September, semua karena perintah era Biden yang menuntut ByteDance “jual atau dilarang.”

Alih-alih memukul palu, Presiden Amerika Serikat Donald John Trump memilih gaya “lihat nanti.” “Mungkin saya lakukan, mungkin tidak. 

Itu tergantung Tiongkok China,” ucapnya di New Jersey, seolah menimbang nasib jutaan kreator konten sambil menyeruput kopi.

Di balik kata-kata santai itu, terselip catur dagang Amerika Serikat–Tiongkok China yang tak kalah ruwet dari algoritma TikTok sendiri.

Politik Dagang Licik

Undang-Undang PAFACAA lahir pada April 2024, memaksa ByteDance melepas kendali operasi Amerika Serikat. 

Mahkamah Agung sudah menegaskan sah secara konstitusi, tak melanggar Amandemen Pertama. Tapi Beijing tak sudi melepas algoritma rekomendasi harta karun data yang jadi inti TikTok.

Microsoft, Oracle, hingga konsorsium investor AS pernah mencoba, tapi proposalnya kandas. Pemerintah Tiongkok menahan izin ekspor algoritma, seperti menutup pintu harta karun. 

Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald John Trump menambah tarif barang Tiongkok, membuat meja negosiasi seperti arena catur berlapis bom.

Perpanjangan demi perpanjangan hanyalah kartu tawar. Bukan demi anak-anak Amerika seperti klaim Trump, melainkan demi poin tawar dagang yang lebih gemuk.

Saingan Siap Serbu

Jika 17 September berlalu tanpa divestasi, Instagram Reels dan YouTube Shorts sudah menyiapkan jaring untuk menampung migrasi pengguna.

Mereka tak perlu memohon algoritma canggih cukup menunggu lawan kelelahan.

TikTok kini berdiri di tepi jurang. Bukan hanya soal bisnis, tapi simbol perang teknologi dan data antara dua raksasa dunia.

Sementara itu, jutaan konten kreator menahan napas, konten mereka bisa lenyap hanya karena kebijakan yang berubah-ubah seperti cuaca Washington.

Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald John Trump terkesan labil, lebih mirip drama politik ketimbang kebijakan keamanan nasional.

Ia pernah hendak melarang TikTok lewat perintah eksekutif pada masa jabatan pertamanya, tapi gagal di pengadilan.

Kini ia menunda sendiri tenggat yang ia warisi, menjadikan nasib jutaan pengguna bahan tawar-menawar dagang.

Tiongkok China pun tak kalah keras kepala. Dengan kontrol ekspor algoritma, Beijing menunjukkan bahwa data adalah senjata geopolitik. 

Hasilnya? Rakyat Amerika Serikat hanya bisa menonton dua raksasa adu gengsi sambil menunggu konten favorit mereka mungkin hilang besok pagi.

Kekurangan Produk TikTok

TikTok sendiri bukan tanpa cela. Tuduhan pengumpulan data berlebihan, risiko privasi, dan potensi penyebaran disinformasi menjadi momok sejak awal. 

Keunggulan algoritmanya justru jadi alasan utama kecurigaan Washington. Ironi, karena kekuatan yang membuatnya populer adalah alasan yang mengancamnya.

Bagi konten kreator, ketidakpastian ini melelahkan. Pendapatan iklan, kolaborasi merek, hingga jadwal unggahan tergantung keputusan politik yang bisa berubah dalam satu tweet presiden.

TikTok kini bukan sekadar aplikasi hiburan. Ia cermin perebutan pengaruh global, medan tempur teknologi, dan saksi bagaimana kebijakan bisa berubah jadi alat drama politik.

Presiden Amerika Serikat Donald John Trump menunda lagi, Tiongkok China mungkin tetap menahan, dan pengguna Amerika akan terus menari di panggung digital yang setiap saat bisa ditutup lampunya.

 Ini Dia Misi Apple Batasi mmWave iPhone 17, Kecepatan 5G Dunia Disunat Licik

Ini Dia Misi Apple Batasi mmWave iPhone 17, Kecepatan 5G Dunia Disunat Licik

Ini Dia Misi Apple Batasi mmWave iPhone 17, Kecepatan 5G Dunia Disunat Licik
Kalimantannews.id, Pulau Kalimantan - Di panggung teknologi yang gemerlap, Apple kembali menari dengan langkah yang licik.

Seri iPhone 17 diluncurkan megah, A19 dan A19 Pro berkilau di bawah sorot lampu, namun di balik gemerincing marketing.

Ternyata ada strategi dingin kecepatan 5G mmWave yang secepat kilat hanya boleh dinikmati warga Amerika Serikat.

Dunia lain? Cukup puas dengan 5G sub-6GHz yang “biasa saja”. Ini artinya, tidak ada niatan bisnis yang sehat.

Realita Tak Terbantahkan

Apple memulai romansa dengan 5G sejak era iPhone 12. Empat tahun sudah berlalu, namun mmWave tetap eksklusif di Amerika Serikat. 

Laporan Global Mobile Suppliers Association (GSA) menampar nurani hanya seperempat operator dunia yang benar-benar berani menanamkan jaringan mmWave hingga 2025.

Angka yang pucat ini, kata analis Counterpoint Research, seolah jeritan diam tertahan oleh biaya perangkat keras yang menanjak gila, 20 hingga 30 persen lebih mahal daripada sub-6 GHz.

Sebuah kenyataan yang membuat dada sesak kecepatan yang dijanjikan masa depan tercekik oleh hitungan rupiah dan dolar.

Di Asia, Tiongkok/China dan Korea Selatan memang menggoda dengan uji coba mmWave, begitu pula Australia dan Jepang.

Namun, jaringan yang tersebar jarang dan mahal membuat penyebaran lambat. Tidak ada sedikit pun kejelasannya.

Apple menangkap fakta ini, lalu mengeksekusi menghemat miliaran dolar dengan cara menahan fitur di luar Amerika.

Konsumen Sangat Tersiksa

Mari kita kupas alasannya. Pertama, biaya perangkat. Menurut teardown iFixit, modul antena mmWave menambah biaya produksi iPhone sekitar USD 30-40 per unit. 

Kedua, biaya jaringan. Operator di Eropa menyebut pembangunan jaringan mmWave per kota dapat mencapai jutaan dolar.

Dalam kalkulasi Apple, menambah komponen mahal hanya demi pasar yang belum siap adalah bisnis bodoh.

Namun, yang ironinya mencolok Apple menagih harga yang sama atau bahkan lebih tinggi di Eropa dan Asia.

Konsumen Paris dan Tokyo tetap merogoh kocek setara pengguna New York, tetapi kecepatan yang diterima jelas berbeda.

Sebuah “diskriminasi teknologi” yang dibungkus rapi dengan kata-kata manis efisiensi. Padahal, tidak juga demikian.

Misteri Gelombang Kosong

Teknologi mmWave 5G memang punya kelemahan atau kekurangan jangkauan pendek dan lemah menembus dinding.

Tapi justru itu yang membuatnya ideal untuk stadion, konser, dan bandara tempat di mana kecepatan sangat dibutuhkan.

Apple, yang konon memimpin inovasi, memilih menunggu. Padahal kompetitor seperti Samsung sudah menguji perangkat global dengan dukungan mmWave lebih luas, walau terbatas.

Di balik panggung, Apple menutupi fakta bahwa iPhone Air dengan modem C1X juga tak punya mmWave.

Seolah mereka menulis memo internal “Amerika Serikat cukup, dunia lain nanti saja.” Itu misi dan alasan mereka.

Kekurangan Produk Apple iPhone 17

iPhone 17 Global harga premium, tapi hanya 5G sub-6GHz. Modem C1X tanpa mmWave, performa di area padat kalah gesit.

Langkah strategi pasar, eksklusivitas mmWave di negara Amerika Serikat memecah pengalaman pengguna.

Pengguna di Jakarta, Berlin, atau Sydney membayar mahal hanya untuk menjadi “kelas dua” dalam pesta kecepatan.

Sebuah Janji yang Samar

Bisakah dunia berharap? Kecuali infrastruktur global mmWave melesat, Apple nyaris pasti menahan fitur ini hingga 2027 atau lebih.

Mereka menunggu operator menanggung biaya. Saat itu tiba, Apple bisa kembali “berbaik hati” dan menjual ponsel dengan label “mmWave Global Edition” dengan harga lebih tinggi, tentu saja.

Inilah wajah Apple 2025 elegan di luar, perhitungan kejam di dalam. Mereka menjual mimpi kecepatan, tapi hanya menyalakan turbo untuk pasar pilihan.

Dunia lain cukup puas dengan sekadar 5G. Sebuah ironi yang menegaskan di balik apel yang tampak mulus, ada gigitan yang pahit.

VIRAL! iPhone Air Tipis Membunuh Pengguna, Apple Jual Ilusi Getaran Bukan Fungsi

VIRAL! iPhone Air Tipis Membunuh Pengguna, Apple Jual Ilusi Getaran Bukan Fungsi

VIRAL! iPhone Air Tipis Membunuh Pengguna, Apple Jual Ilusi Getaran Bukan Fungsi
Kalimantannew.id, Pulau Kalimantan - Apple baru saja merilis iPhone Air, ponsel pintar tertipis tahun 2025 dengan profil hanya 5,6 mm.

Angka ini bukan sekadar data teknis, tapi sebuah pernyataan: tipis bukan lagi sekadar tren mode, melainkan filosofi hidup yang coba dijual Apple.

Seketika, Tim Cook, sang nakhoda Apple, menyebut iPhone Air sebagai pengalaman “melayang saat dipegang.” 

Sebuah kalimat yang lebih mirip tagline parfum ketimbang ulasan perangkat teknologi kekinian yang viral itu.

Di balik kalimat manis itu, publik pun bertanya apakah Apple masih menjual fungsi, atau hanya sekadar getaran emosional?

Molly Anderson, Wakil Presiden Desain Industri Apple, dengan penuh percaya diri menyebut iPhone Air sebagai impian lama yang akhirnya terwujud.

Tipis, halus, dan nyaris seperti kaca murni sebuah fantasi futuristik yang dijahit jadi kenyataan.

Namun, dalam dunia nyata, konsumen bukan hanya butuh ponsel yang enak dipandang, tapi juga kokoh, tahan lama, dan tidak bikin was-was tiap kali diletakkan di meja.

Getol Gaya Menipu

Apa yang membuat iPhone Air begitu “wah” di mata penggemar? Jawabannya sederhana gaya mengalahkan guna.

Lev Tanju, co-founder Palace, sebuah brand skate asal London, mengaku langsung jatuh hati pada tipisnya iPhone Air.

Ironisnya, sebagai orang yang hidup dalam dunia skateboard penuh benturan, ponsel tipis nyaris kaca ini adalah lawan dari kebutuhan hidupnya. 

“Saya suka Max, tapi kalau ini Air, mungkin saya harus jalan lebih dekat saat zoom foto,” ujarnya menjelaskan.

Gabriella Karefa-Johnson, seorang penata gaya, menambahkan bumbu lebih pahit tipis kini merambah dunia teknologi, setelah lama jadi mantra dunia fesyen. 

Ia menyebut iPhone Air sebagai kompromi aneh di satu sisi tas tangan makin kecil, di sisi lain ponsel makin besar dan kini makin tipis. Logikanya kabur, tapi tren kadang memang melawan akal sehat.

Masa Depan Kaca

Lebih menarik lagi adalah komentar Alan Dye, Wakil Presiden Desain Antarmuka Apple. 

Ia menyebut iPhone Air hanyalah langkah menuju impian lama Steve Jobs: sebuah ponsel yang seluruhnya adalah sepotong kaca.

Kilas balik ke sejarah Apple, visi itu terdengar seperti dongeng sains-fiksi. Namun kini, dengan iPhone Air, potongan puzzle itu mulai terbentuk. 

Analisis Bloomberg pun menegaskan bahwa iOS 26 memberi sinyal tentang arah desain Apple di masa depan. 

Tahun 2027, saat ulang tahun ke-20 iPhone, rumor menyebutkan Apple akan merilis perangkat yang hampir seluruhnya berbahan kaca.

Sekilas terdengar indah. Namun mari realistis: kaca tetaplah kaca. Sekeras apapun digembar-gemborkan, ia rapuh di hadapan lantai keramik.

Kekurangan Produk Apple iPhone Air

Di balik gegap gempita promosi, iPhone Air menyimpan cacat bawaan yang harus diakui.

Rapuh Berlebihan

Ketebalan 5,6 mm membuatnya rentan retak. Sekali jatuh, ongkos servis bisa lebih mahal dari cicilan ponselnya.

Baterai Terbatas

Tipis berarti ruang baterai lebih kecil. Jangan harap daya tahan sekuat seri iPhone Max.

Overheating

Desain tipis membuat sirkulasi panas minim. Streaming panjang atau gaming bisa membuatnya terasa seperti setrika genggam.

Harga Tak Masuk Akal

Dengan label premium, konsumen lebih banyak membeli “aura Apple” ketimbang fungsi nyata.

Aksesori Wajib

Karena terlalu tipis, casing jadi kebutuhan mutlak, bukan pilihan. Ironis: membeli ponsel tipis, lalu menebalnya dengan pelindung.

Sebuah Kritik Membumi Untu Apple iPhone Air

Apple memang jago membungkus kelemahan dengan narasi indah. Kata “getaran” dijual seolah-olah fungsi hanyalah nomor dua. Tapi apakah benar generasi kini rela membeli suasana hati dengan harga selangit?

Konsumen modern, terutama Gen Z yang jadi sasaran Apple, mulai jenuh dengan gimmick kosmetik. 

Mereka butuh ponsel yang kuat untuk bekerja, multitasking, hingga gaming, bukan sekadar simbol estetika.

Jika Apple terus menaruh gaya di atas segalanya, maka iPhone Air bisa jadi hanya catatan sejarah indah dipandang, tapi gagal bertahan.

Ini sebuah pelajaran sangat penting, bahwa produk tipis tak boleh terlalu tipis logika.

iPhone Air memang cantik seperti model catwalk yang berjalan di runway. Tapi model bukanlah pekerja pabrik.

Begitu pula iPhone Air, ia adalah produk untuk dipamerkan, bukan untuk dijadikan tulang punggung kehidupan digital yang keras dan penuh benturan.

Tim Cook boleh saja menyebut ponsel ini “melayang di tangan,” tapi jangan lupa: semakin tipis sesuatu, semakin cepat ia hilang dari genggaman.

 Pawai Ta’aruf MTQ Kalbar ke-33 Kapuas Hulu, Simbol Kebersamaan di Bumi Uncak Kapuas

Pawai Ta’aruf MTQ Kalbar ke-33 Kapuas Hulu, Simbol Kebersamaan di Bumi Uncak Kapuas

Pawai Ta’aruf MTQ Kalbar ke-33 Kapuas Hulu, Simbol Kebersamaan di Bumi Uncak Kapuas
Kalimantannews.id, Kapuas Hulu - Hari itu, Minggu pagi, 14 September 2025, jalanan Kota Putussibau berubah menjadi panggung kolosal.

Ribuan mata tertuju pada deretan mobil hias berhiaskan kubah masjid, replika rumah adat, dan simbol budaya Kalimantan Barat.

Suara lantunan shalawat bersahut-sahutan, menyatu dengan tepuk tangan penonton yang berdiri rapat di tepi jalan.

Bukan sekadar parade kendaraan, pawai Ta’aruf MTQ Kalbar ke-33 ini bagai aliran sungai Kapuas yang membawa pesan bahwa kitab suci bukan hanya dibaca, tetapi juga dirayakan dalam kehidupan nyata.

Dua puluh tahun sudah, Kapuas Hulu tak pernah merasakan riuh seperti ini. Hari itu, bumi Uncak Kapuas kembali hidup, berdenyut dalam irama persaudaraan.

Wajah Kebhinekaan Kalimantan Barat

Tak hanya nuansa islami yang terlihat. Ada corak adat Melayu, nuansa Dayak, hingga budaya Tionghoa yang turut mewarnai.

Mobil hias itu juga seperti cermin keberagaman Kalimantan Barat: berbeda wujud, tetapi tetap satu tujuan.

Dari 14 kabupaten/kota, dari organisasi perangkat daerah hingga pelaku usaha kecil, semua hadir alias tanpa alpha.

Mereka bukan sekadar peserta, melainkan saksi sejarah bahwa MTQ bukan milik satu golongan, melainkan milik bersama.

“Banyak perubahan kali ini, terutama kreativitas mobil hias dari berbagai suku di Kapuas Hulu,” kata Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Barat, Harisson.

Dedikasi Tak Terlihat

Di balik gemerlap lampu hias, ada peluh yang jatuh. Ada tangan-tangan warga yang bergotong-royong menghias mobil hingga larut malam.

Ada doa ibu-ibu yang menyiapkan bekal bagi anak-anak mereka yang ikut pawai.

Bupati Kapuas Hulu, Fransiskus Diaan, tahu benar hal ini. Baginya, pawai ini bukan sekadar arak-arakan.

Ia adalah simbol kebersamaan. Juga soal penanda bahwa masyarakat bisa bersatu dalam semangat religius.

“Pawai ini bukan sekadar arak-arakan, tetapi simbol kebersamaan dalam memeriahkan MTQ,” ucapnya penuh keyakinan.

MTQ, Ruang Doa Menyatukan

Musabaqah Tilawatil Qur’an selalu punya daya magis tersendiri. Ia bukan hanya ajang kompetisi, melainkan ruang di mana doa-doa bertemu.

Dari bibir seorang qori, dari lantunan seorang qoriah, lahirlah energi yang menembus batas suku, agama, dan latar belakang.

Bupati Kapuas Hulu, Fransiskus Diaan berharap momentum ini menjadi jalan untuk membangun yang lebih maju, religius, dan berakhlakul karimah.

Ini sebuah doa besar yang lahir dari panggung kecil di Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat.

Musim hujan memang kerap membawa was-was. Sekda Kapuas Hulu, Mohd Zaini, dengan tenang menyampaikan bahwa jalur pawai sudah dipersiapkan. Bahkan ancaman banjir yang kerap datang, sudah diantisipasi.

“Saya yakin, kondisi saat ini Insya Allah tidak terlalu mengganggu jalannya pawai,” ucapnya. Optimisme itu terasa, seperti doa yang disematkan di langit mendung.

Kebersamaan Tak Bisa Dibeli

Pawai Ta’aruf ini mengajarkan satu hal: bahwa kebersamaan tidak lahir dari uang atau kekuasaan, melainkan dari hati yang tulus.

Di antara mobil-mobil yang berjejer, terlihat anak-anak melambaikan tangan, remaja bersorak, orang tua menitikkan air mata haru.

Seorang ibu di tepi jalan berbisik pelan, “Dua puluh tahun kami menunggu. Hari ini, doa kami dijawab.”

Harapan untuk Generasi Qori dan Qoriah

Lebih dari sekadar pesta budaya, MTQ adalah panggung pendidikan spiritual. Dari lomba ini, lahirlah qori dan qoriah yang kelak menjadi penerang di tengah masyarakat.

Bupati Kapuas Hulu Fransiskus Diaan berharap MTQ Kalbar ke-33 berjalan lancar dan melahirkan generasi Qur’ani terbaik.

Harapan itu bukan sekadar ucapan, tetapi doa kolektif yang dipanjatkan ribuan warga Kabupaten Kapuas Hulu.

Bumi Menyatu Doa

Hari itu, Kapuas Hulu tidak hanya menjadi tuan rumah. Ia menjadi rumah doa bagi seluruh Kalimantan Barat.

Dari mobil hias yang melintas, dari lantunan ayat suci yang bergema, kita belajar bahwa kebersamaan bukan kata-kata kosong.

Ia adalah cahaya yang membuat kita tetap teguh meski badai menghadang.

Pawai Ta’aruf di Kapuas Hulu bukan sekadar peristiwa. Ia adalah kisah panjang tentang cinta pada kitab, pada budaya, pada kebersamaan.

Kisah yang akan dikenang bukan hanya oleh mereka yang hadir, tetapi juga oleh generasi mendatang yang mendengar ceritanya.

Formulir Kontak